Jumat, 31 Mei 2013
Rabu, 29 Mei 2013
Siapakah Yang Menyuruhmu Berjilbab ?
Untukmu Ukhti Muslimah…
[Nasihat Ringkas Tentang Jilbab - Dari Radio Rodja]
Wahai Saudari Muslimah, siapakah yang menyuruhmu untuk berjilbab?
Untukmu ukhti muslimah…
kemana akan kau bawa dirimu?
kepada gemerlapnya dunia?
gemilaunya harta?
atau pada ketampanan seorang pria?
walaupun kau harus membuka hijabmu
demi mendapat semua yang kau inginkan,
maka kehinaan yang kau dapatkan!
Wahai Saudari Muslimah, siapakah yang munyuruhmu untuk berhijab?
Untukmu ukhti muslimah…
kemana akan kau bawa dirimu?
kepada kemuliaan jiwa?
kepada keridhaan Sang Pencipta?
atau mulianya menjadi bidadari surga?
walaupun hinaan dan cacian yang harus kau terima
demi menjaga hijab yang telah disyariatkan oleh agama,
maka kebahagiaan yang akan kau dapatkan!
Katakan TIDAK pada gemerlapnya dunia!
jika hijabmu harus terlepas karenanya
Katakan TIDAK pada kemilaunya harta!
jika hijabmu harus menjadi tebusannya
karena hijabmu,
adalah benteng kemuliaan dirimu
bahwasannya yang menyuruhmu untuk berjilbab
yang menyuruhmu untuk berbusana muslimah
yang menyuruhmu ialah Allah dan Rasul-NYa
dan konsekwensi kita sebagai seorang muslim maupun muslimah
wajib untuk taat pada Allah Ta’ala
karena Allah yang menciptakan kita
Allah yang memberikan rizki pada kita
Allah yang memberikan segalanya kepada kita
Al-Qur’an menyuruh kita untuk berhijab
Allah yang menciptakan kita yang menyuruh kita untuk berjilbab!
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى
أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai
Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
pengampun lagi Maha penyayang”
(QS.al-Ahzab:59)
Jika seandainya manusia (wanita muslimah) tidak berbusana Muslimah, tidak berjilbab,
maka manusia ini akan rusak dan hancur, akan binasa.”
Setiap wanita, TIDAK ADA UDZUR (tidak ada alasan) untuk tidak memakai busana muslimah.
Selasa, 28 Mei 2013
Nasihat untuk Wanita Muslimah
Oleh: Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan
Buku ini adalah terjemahan lengkap dari transkrip muhadarah Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berjudul “Nasihah Lil Mar’atil Muslimah” (Advice to the Muslim Woman). Sumber yang digunakan dalam terjemahan ini adalah buku Muhadarat fil-Aqidah wad-Da’wah, kompilasi besar lebih dari 25 transkrip muhadarah Syaikh Shalih Al-Fauzan dalam topik Aqidah dan Manhaj (vol. 3, hal. 281-299, Markaz Fajr, Edisi 2003).
Dalam
muhadarah ini, Syaikh Shalih Al-Fauzan membahas berbagai topik penting
berkenaan dengan wanita, seperti hijab (jilbab), berkhalwat dengan
laki-laki asing (bukan mahram –pent), bepergian tanpa mahram, dan
hal-hal lain yang sangat penting untuk dipahami dan dilaksanakan oleh
wanita Muslim.
Download eBook :
Download eBook :
(Dalam edisi revisi ini terdapat perubahan pada beberapa kesalahan redaksi dari edisi sebelumnya, terbit pertama tahun 2008.)
KEMBALI KE KUMPULAN ARTIKEL MUSLIMAH
Senin, 27 Mei 2013
Jilbab Berwarna Hitam
"Ketika ayat tentang jilbab turun, mereka robek kain korden lalu mereka kenakan sebagai jilbab sehingga mereka seperti burung gagak”.
Baca lengkapnya di : http://ustadzaris.com/jilbab-hitam-menurut-ulama-yaman
Berkhidmat Pada Suami
Agustus 1, 2007 pada 4:26 am · Disimpan dalam Al-Ilmu, asysyariah, DarusSalaf, Islam, MUSLIM OR ID, Muslimah, Muslimah Salaf, Muslimah Salafi, Muslimah Salafy, Salaf, Salafi, Salafy, Syariah, thullabul-ilmiy
Pulang
dari bekerja, semestinya adalah waktu untuk beristrirahat bagi suami
selaku kepala rumah tangga. Namun banyak kita jumpai fenomena di mana
mereka justru masih disibukkan dengan segala macam pekerjaan rumah
tangga sementara sang istri malah ngerumpi di rumah tetangga. Bagaimana
istri shalihah menyikapi hal ini?
Salah
satu sifat istri shalihah yang menandakan bagusnya interaksi kepada
suaminya adalah berkhidmat kepada sang suami dan membantu pekerjaannya
sebatas yang ia mampu. Ia tidak akan membiarkan sang suami melayani
dirinya sendiri sementara ia duduk berpangku tangan menyaksikan apa
yang dilakukan suaminya. Ia merasa enggan bila suaminya sampai
tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah, memasak, mencuci,
merapikan tempat tidur, dan semisalnya, sementara ia masih mampu untuk
menanganinya.
Sehingga tidak mengherankan bila kita mendapati seorang
istri shalihah menyibukkan harinya dengan memberikan pelayanan kepada
suaminya, mulai dari menyiapkan tempat tidurnya, makan dan minumnya,
pakaiannya, dan kebutuhan suami lainnya. Semua dilakukan dengan penuh
kerelaan dan kelapangan hati disertai niat ibadah kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dan sungguh ini merupakan bentuk perbuatan
ihsannya kepada suami, yang diharapkan darinya ia akan beroleh
kebaikan.
Berkhidmat
kepada suami ini telah dilakukan oleh wanita-wanita utama lagi mulia
dari kalangan shahabiyyah, seperti yang dilakukan Asma’ bintu Abi Bakar
Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada Az-Zubair ibnul
Awwam radhiallahu ‘anhu, suaminya. Ia mengurusi hewan tunggangan
suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal
embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul
biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya
dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh1.” (HR. Bukhari no. 5224 dan
Muslim no. 2182)
Demikian
pula khidmatnya Fathimah bintu Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu,
sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. Ketika
Fathimah datang ke tempat ayahnya untuk meminta seorang pembantu, sang
ayah yang mulia memberikan bimbingan kepada yang lebih baik:
أَلاَ
أَدُلُّكُماَ عَلَى ماَ هُوَ خَيْرٌ لَكُماَ مِنْ خاَدِمٍ؟ إِذَا
أَوَيْتُماَ إِلَى فِرَاشِكُماَ أَوْ أَخَذْتُماَ مَضاَجِعَكُماَ
فَكَبَّرَا أًَرْبَعاً وَثَلاَثِيْنَ وَسَبَّحاَ ثَلاَثاً وَثَلاَثِيْنَ
وَحَمِّدَا ثَلاَثاً وَثَلاثِيْنَ، فَهَذَا خَيْرٌ لَكُماَ مِنْ خاَدِمٍ
“Maukah
aku tunjukkan kepada kalian berdua apa yang lebih baik bagi kalian
daripada seorang pembantu? Apabila kalian mendatangi tempat tidur
kalian atau ingin berbaring, bacalah Allahu Akbar 34 kali, Subhanallah
33 kali, dan Alhamdulillah 33 kali. Ini lebih baik bagi kalian daripada
seorang pembantu.” (HR. Al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no. 2727)
Shahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah
radhiallahu ‘anhu, menikahi seorang janda untuk berkhidmat padanya
dengan mengurusi saudara-saudara perempuannya yang masih kecil. Jabir
berkisah: “Ayahku meninggal dan ia meninggalkan 7 atau 9 anak
perempuan. Maka aku pun menikahi seorang janda. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya padaku:
تَزَوَّجْتَ
ياَ جاَبِر؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقاَلَ: بِكْرًا أَمْ ثَيِّباً؟ قُلْتُ:
بَلْ ثَيِّباً. قاَلَ: فَهَلاَّ جاَرِيَةً تُلاَعِبُهاَ وَتُلاَعِبُكَ،
وَتُضاَحِكُهاَ وَتُضاَحِكُكَ؟ قاَلَ فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ عَبْدَ اللهِ
هَلَكَ وَ تَرَكَ بَناَتٍ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَجِيْئَهُنَّ
بِمِثْلِهِنَّ، فَتَزَوَّجْتُ امْرَأَةً تَقُوْمُ عَلَيْهِنَّ
وَتُصْلِحُهُنَّ. فَقاَلَ: باَرَكَ اللهُ لَكَ، أَوْ قاَلَ: خَيْرًا
“Apakah engkau sudah menikah, wahai Jabir?”
“Sudah,” jawabku.
“Dengan gadis atau janda?” tanya beliau.
“Dengan janda,” jawabku.
“Mengapa
engkau tidak menikah dengan gadis, sehingga engkau bisa bermain-main
dengannya dan ia bermain-main denganmu. Dan engkau bisa tertawa
bersamanya dan ia bisa tertawa bersamamu?” tanya beliau.
“Ayahku,
Abdullah, meninggal dan ia meninggalkan anak-anak perempuan dan aku
tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan
mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan
merawat mereka,” jawabku.
Beliau
berkata: “Semoga Allah memberkahimu”, atau beliau berkata: “Semoga
kebaikan bagimu.” (HR. Al-Bukhari no. 5367 dan Muslim no. 1466)
Hushain
bin Mihshan berkata: “Bibiku berkisah padaku, ia berkata: “Aku pernah
mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena suatu
kebutuhan, beliaupun bertanya:
أَيْ
هذِهِ! أَذَاتُ بَعْلٍ؟ قُلْتُ: نَعَم. قاَلَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟
قُلْتُ: ماَ آلُوْهُ إِلاَّ ماَ عَجَزْتُ عَنْهُ. قاَلَ: فَانْظُرِيْ
أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّماَ هُوَ جَنَّتُكَ وَناَرُكَ
“Wahai wanita, apakah engkau telah bersuami?”
“Iya,” jawabku.
“Bagaimana engkau terhadap suamimu?” tanya beliau.
“Aku
tidak mengurang-ngurangi dalam mentaatinya dan berkhidmat padanya,
kecuali apa yang aku tidak mampu menunaikannya,” jawabku.
“Lihatlah
di mana keberadaanmu terhadap suamimu, karena dia adalah surga dan
nerakamu,” sabda beliau. (HR. Ibnu Abi Syaibah dan selainnya,
dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al- Albani rahimahullah dalam
Adabuz Zifaf, hal. 179)
Namun
di sisi lain, suami yang baik tentunya tidak membebani istrinya dengan
pekerjaan yang tidak mampu dipikulnya. Bahkan ia melihat dan
memperhatikan keberadaan istrinya kapan sekiranya ia butuh bantuan.
Adalah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam gambaran suami yang terbaik.
Di tengah kesibukan mengurusi umat dan dakwah di jalan Allah Subhanahu
wa Ta’ala, beliau menyempatkan membantu keluarganya dan mengerjakan apa
yang bisa beliau kerjakan untuk dirinya sendiri tanpa membebankan
kepada istrinya, sebagaimana diberitakan istri beliau, Aisyah
radhiallahu ‘anha ketika Al-Aswad bin Yazid bertanya kepadanya:
ماَ
كاَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ فِي
الْبَيْتِ؟ قاَلَتْ: كاَنَ يَكُوْنُ فِيْ مِهْنَةِ أَهْلِهِ –تَعْنِي
خِدْمَةَ أَهْلِهِ- فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ
“Apa yang biasa dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rumah?”
Aisyah
radhiallahu ‘anha menjawab: “Beliau biasa membantu pekerjaan istrinya.
Bila tiba waktu shalat, beliau pun keluar untuk mengerjakan shalat.”
(HR. Al-Bukhari no. 676, 5363)
Dalam
riwayat lain, Aisyah radhiallahu ‘anha menyebutkan pekerjaan yang
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan di rumahnya:
ماَ يَصْنَعُ أَحَدُكُمْ فِيْ بَيْتِهِ، يَخْصِفُ النَّعْلَ وَيَرْقَعُ الثَّوْبَ وَيُخِيْطُ
“Beliau
mengerjakan apa yang biasa dikerjakan salah seorang kalian di
rumahnya. Beliau menambal sandalnya, menambal bajunya, dan
menjahitnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 540,
dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil
Mufrad no. 419 dan Al-Misykat no. 5822)
كاَنَ بَشَرًا مِنَ الْبَشَرِ، يَفْلِي ثَوْبَهُ وَيَحْلُبُ شاَتَهُ
“Beliau
manusia biasa. Beliau menambal pakaiannya dan memeras susu
kambingnya”. (HR. Al- Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 541,
dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil
Mufrad no. 420 dan Ash-Shahihah 671)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Sabtu, 25 Mei 2013
Lebih Dekat Dengan Salaf
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّه
“Barangsiapa yang mentaati Rasul, maka ia telah mentaati Allah.”(QS. An-Nisa: 80)Tak kenal maka tak sayang. Ungkapan ini sangat memasyarakat di negeri kita. Namun apa hubungannya ungkapan tersebut dengan judul di atas? Insyaallah kaitannya akan coba dipaparkan kemudian dalam tulisan ini.
Sebagian orang mungkin pernah mendengar kata salaf atau salafi dengan pemaknaan yang bisa jadi beragam. Apakah anda termasuk yang bereaksi sinis ketika membaca atau mendengar kata salaf atau salafi?
Jika iya, mari coba singkirkan sejenak persepesi negatif anda tentang salaf yang mungkin hanya berdasarkan pada pemikiran yang tidak berlandaskan ilmu sama sekali. Akan sangat baik jika sebelum melangkah ke pembahasan awal, kita terlebih dahulu memohon kepada Allah ta’ala agar Dia memberikan hidayah-Nya kepada kita dan membuka mata hati kita hingga seselesainya membaca tulisan ini sampai akhir.
Makna Salaf Sebenarnya
Salaf secara bahasa adalah jamak dari saalif, maknanya pendahulu. Maka arti salaf adalah jama’ah yang terdahulu. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلًا لِلْآخِرِينَ
“maka Kami jadikan mereka sebagai (kaum) terdahulu, dan pelajaran bagi orang-orang yang kemudian” (QS. Az-Zukhruf: 56).Imam Al Baghawi dalam tafsirnya berkata, “…dan mereka adalah orang yang terdahulu dari kalangan nenek moyang, Kami jadikan mereka sebagai pendahulu agar orang-orang yang datang kemudian mengambil pelajaran dari mereka.”
Ibnu Atsir pun berkata, “salaf adalah orang yang lebih dahulu meninggal dari kalangan nenek moyang dan kerabatnya. Oleh sebab itu, generasi terdahulu dari kalangan tabi’in disebut as-Salafus Shalih.”
Termasuk juga pengertian salaf secara bahasa adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada putri beliau, Fathimah az-Zahra radhiyallahu ‘anha, “Sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu adalah aku.” (HR. Bukhari & Muslim)
Adapun secara istilah, makna salaf diperselisihkan menjadi beberapa pendapat, yang paling penting di antaranya adalah:
- Mereka adalah para sahabat saja.
- Mereka adalah sahabat dan tabi’in.
- Mereka adalah sahabat, tabiin, dan tabi’ut tabi’in.
- Mereka adalah generasi sebelum tahun 500 Hijriyah. Ulama yang memilih pendapat ini menganggap bahwa salaf adalah madzhab yang dibatasi dengan waktu tertentu dan tidak lebih dari itu. Selanjutnya wawasan Islam berkembang, melalui tokoh-tokohnya.
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ
وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada
Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surge-surga yang mengalir
sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)Berdasarkan ayat di atas, semata “lebih terdahulu dari sisi waktu” saja tidaklah cukup untuk menetapkan salaf, namun perlu ditambahkan juga bahwa orangnya memiliki pemahaman agama yang selaras dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Barangsiapa pendapatnya berseberangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah maka dia bukan salafi, walaupun dia hidup di tengah para sahabat dan tabi’in.
Kemudian, yang dimaksud dengan Salaf pertama kali adalah sahabat, sebagaimana hadits dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)
Al Baijuri – salah satu ulama madzhab syafi’i – rahimahullah berkata, “maksud dari orang-orang terdahulu (salaf) adalah orang-orang terdahulu dari kalangan para nabi, sahabat, tabi’in, dan para pengikutnya.”
Wajibnya Mengikuti Salafus Shalih dan Komitmen dengan Madzhab Mereka
Sungguh Allah ‘azza wa jalla telah memerintahkan kita untuk mengikuti jalan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meniti atsar (ajaran) dan menempuh manhaj (jalan hidup) mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ
“Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku” (QS. Luqman: 15).Mengenai ayat di atas, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan penjelasan, “seluruh sahabat kembali kepada Allah, maka wajib mengikuti jalannya, ucapannya, dan keyakinannya yang merupakan jalan-Nya yang paling besar.”
Allah pun memperingatkan kita agar tidak menyelisihi jalan mereka dan mengancam orang yang menyelisihinya dengan api jahanam, sebagaimana firman-Nya:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ
لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul (Muhammad) sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan
akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk
tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115).Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan umatnya untuk mengikuti sunnahnya dan sunnah para khalifah sesudahnya, sebagaimana dalam sabda beliau,
عليكُم بسنَّتي وسُنَّة الخُلفاء المَهديين الرَّاشدين مِن
بعدي، عَضُّوا عليها بالنَّواجذ، وإيَّاكم ومُحدثاتِ الأمور، فإنَّ كلَّ
مُحدثةٍ بِدعةٌ، وكلَّ بدعةٍ ضلالةٌ
“Wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah
Khulafa’ Ar-Rasyidin yang mendapatkan hidayah sesudahku. Pegang
teguhlah sunnah tersebut dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian,
berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru, karena setiap
perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud) Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata,“Bersabarlah dirimu di atas sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para sahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka tinggalkan. Dan ikutilah jalan salafus shalih, karena sudah cukup bagimu (dalam melaksanakan ibadah) apa saja yang mereka anggap cukup.”
Beberapa Keistimewaan Manhaj Salaf
Manhaj salaf memiliki banyak keistimewaan yang tidak akan cukup jika dipaparkan dalam tulisan yang sangat ringkas ini. Di antara keistimewaan manhaj salaf adalah sebagai berikut:
Pertama, penganutnya tegar di atas kebenaran dan tidak mudah goyah sebagaimana keadaan para pengikut hawa nafsu.
Kedua, mereka sepakat di atas satu aqidah dan tidak berselisih walaupun berbeda zaman dan tempat.
Ketiga, mereka adalah orang yang paling mengetahui keadaan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, perbuatan, dan ucapan-ucapan beliau. Paling mampu memisahkan antara yang shahih dan yang dhaif. Oleh karena itu mereka adalah orang yang sangat mencintai sunnah, paling semangat mengikutinya dan paling tinggi loyalitasnya kepada ahlinya.
Keempat, mereka meyakini bahwa metode salafus shalih adalah metode yang aslam-a’lam-ahkam (paling selamat, paling dalam ilmunya, dan paling bijak). Tidak sebagaimana anggapan para ahli kalam bahwa metode salaf itu lebih selamat, sementara metode kaum khalaf itu lebih dalam ilmunya dan lebih bijak.
Kelima, mereka sangat bersemangat dalam menyebarkan aqidah yang benar dan agama yang lurus, mengajari manusia dan menasihati mereka, membantah orang-orang yang menyimpang dan ahli bid’ah.
Keenam, mereka pertengahan di antara kelompok-kelompok sesat yang lainnya.
Jalan Keselamatan Hanya dengan Mengikuti Sunnah Nabi
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “intisari agama ini terdapat pada dua pokok, yaitu kita tidak beribadah kecuali kepada Allah dan tidak beribadah kepada-Nya kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan.”
Hal ini sebagaimana difirmankan Allah Tabaraka wa Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah
dia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang
pun dalam beribdah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110). Mengenai ayat di atas, Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Inilah dua rukun amal yang diterima. Amal tersebut harus dilaksanakan dengan ikhlas karena Allah dan benar-benar sesuai dengan syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa setiap amalan yang kita lakukan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala harus memenuhi dua syarat utama, di mana kedua syarat tersebut harus ada dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Kedua syarat tersebut adalah:
Pertama, mengikhlaskan ibadah kepada Allah semata.
Keikhlasan tidak mungkin datang bersama kesyirikan, riya’ atau mengharapkan dunia dengan amalnya. Maka hendaklah seorang hamba beramal dengan tujuan mengharap wajah Allah ta’ala semata. Allah tubhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan dengan penuh kekayakan keo kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar: 2) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda dalam hadits qudsi yang beliau riwayatkan dari Rabbnya (Allah ta’ala):
أنا أغنى الشركاء عن الشرك من عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه
“Aku adalah Rabb yang sangat tidak membutuhkan sekutu,
barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang ia sekutukan Aku dengan
yang lainnya, maka Aku tinggalkan ia dengan amal syiriknya tersebut.” (HR. Muslim) Kedua, sesuai dengan apa yang dicontohkan rasul-Nya.
Makna dari syarat yang kedua ini adalah hendaknya amalan yang kita lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, sesuai dengan apa yang disyari’atkan Allah dalam kitab-Nya atau apa yang disyari’atkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sunnah-sunnah beliau.
Sungguh banyak dalil yang memerintahkan kita untuk ittiba’ (mengikuti sunnah nabi) dan melarang kita dari melakukan segala bentuk amalan yang tidak beliau perintahkan yang tujuannya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalil-dalil tersebut di antaranya: Dalam kitab-Nya Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ
اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21). Allah juga berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang
dilarangnya maka tinggalkanlah. Oleh karena itu, bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya, siksa Allah itu sangat keras.” (QS. Al-Hasyr: 7) Allah juga berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ
رَحِيمٌ
Katakanlah: jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.” (QS. Ali Imran: 31). Adapun dalil dari hadits-hadits, di antaranya sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya aku tinggalkan di tengah kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang kepada keduanya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnahku.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ish Shaghir no. 2937)
Serta sabdanya: “Biarkanlah aku dengan apa yang telah aku tinggalkan untuk kalian, sesungguhnya kebinasaan umat sebelum kalian karena banyak pertanyaan dan perselisihan mereka kepada para nabi mereka, maka jika aku melarang kalian dari satu perkara maka tinggalkanlah, jika aku memerintahkan satu perkara maka kerjakanlah semampu kalian” (Muttafaq ‘alaih)
Penutup
Dengan melihat dalil-dalil yang terpapar di atas, baik dalil Al-Qur’an, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih, serta perkataan salafus shalih, maka sudah sewajibnya kita menjadikan manhaj salaf sebagai pijakan. karena ia merupakan manhaj orang-orang yang beriman, yang mewarisi agama ini dari pendahulu para rasul dalam keadaan jujur, benar, dan akurat, serta mereka menyampaikan dengan bersih dan murni.
Manhaj salaf satu-satunya manhaj yang wajib diikuti oleh kaum muslimin karena yang memerintahkan untuk berpegang dan mengikuti manhaj ini adalah Allah ‘Azza wa Jalla danRasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebaik-baik manusia yang membawa manhaj ini adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang dijamin oleh Allah Ta’ala dengan surga dalam keadaan mereka ridha pada Allah dan Allah pun ridha kepada mereka.
Tulisan ini terlalu singkat dan begitu sempit dalam menjelaskan bagaimana manhaj salaf sebenarnya. Tidak semua nash, baik dari Al-Qur’an dan hadits-hadits, bisa kami tuliskan di sini karena sempitnya ruang tulis yang tersedia. Untuk lebih jelasnya pembaca bisa merujuk pada kitab-kitab yang menjelaskan hakikat dan keutamaan manhaj salaf secara terperinci.
Semoga tulisan ringkas ini bermanfaat bagi penulis, para pembaca, dan kaum muslimin semuanya. Pun penulis berharap semoga Allah menjadikan tulisan ini ikhlas semata-mata karena mengharap wajah Allah. Kita bermohon kepada Allah semoga diberi petunjuk di atas Islam dan sunnah mengikuti manhaj salafus shalih dan istiqamah dalam keadaan mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala. Mudah-mudahan Allah ‘azza wa jalla mengumpulkan kita di surga bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Amiin.
Shalawat serta salam semoga senantiasa Allah curahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada keluarga beliau, para sahabat, dan orang-orang yang istiqamah di atas sunnah beliau sampai hari kiamat. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
***
artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Rumman Verawaty Lihawa
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits
sumber asli
Jumat, 24 Mei 2013
istri shalihah
Wahai para wanita yang ingin mencapai martabat Istri shalihah
Wahai para wanita yang menginginkan kebahagiaan rumah tangga
Kalian harus tetap tinggal di rumahmu, menangislah untuk kesalahanmu dan carilah keridhaan Rabb-mu...,
Kamis, 23 Mei 2013
ulil albab
Ulil Albab
Dan
orang-orang beriman yang berkata: “yaRabb kami, anugrahkanlah kepada
kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (Al Furqan:74)
Pesan sahabat Ali bin Abi Talib r.a :
Barangsiapa yang merindukan surga maka ia akan bersegera dalam melaksanakan kebaikan.
Barangsiapa takut siksa neraka, maka ia akan berhenti dari mengikuti hawa nafsu.
Barangsiapa yang meyakini datangnya kematian, maka dia tidak akan terlena dengan kesenangan dunia.
Barangsiapa mengetahui bahwa dunia adalah negeri cobaan, maka semua musibah yang menimpanya akan terasa ringan.
Rahasia zuhud Hasan Basri rahimahullah :
Aku tahu rizkiku tidak akan diambil orang lain, karna itulah qalbuku selalu tenang.
Aku tahu amal perbuatanku tidak akan ditunaikan orang lain, karna itulah aku sibuk mengerjakannya.
Aku tahu Allah mengawasiku, karna itulah aku merasa malu bila Dia melihatku dalam keadaan maksiat.
Aku tahu kematian sudah menungguku, karna itulah aku selalu menambah bekal untuk hari pertemuanku dengan Allah
Langganan:
Postingan (Atom)